Home »Menjawab Wahabi »Pemikiran dan Akidah Ibn Taimiyah Yang Dinilai Menyimpang Oleh Ulama Pemikiran dan Akidah Ibn Taimiyah Yang Dinilai Menyimpang Oleh Ulama Review By: aswj-rg.com Restoran: Menjawab Wahabi
Setelah kami jelaskan ucapan para ulama besar Ahlus sunnah yang membantah dan mentahdzir Ibnu Taimiyyah disebabkan fatwa-fatwanya yang dinilai banyak melanggar ijma’ ulama dan beberapa akidah yang mengarah kepada tajsim (penjisiman) kepada Allah, maka artikel berikut ini akan mengupas (menghuraikan) lebih detail ucapan-ucapan Ibnu Taimiyyah tersebut dalam beberapa kitab karyanya. (Dimohon membaca dengan seksama, cermat dan berulang-ulang) artikel kami yang terdahulu iaitu
1- Ibnu Taimiyah Dalam Pandangan Ulama Ahlussunnah
2- Pandangan Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani Terhadap Ibnu Taimiyah
3- Sebab Ibn Taimiyah Dibantah dan Dipenjarakan Oleh Para Ulama dan Qadhi
Sebenarnya kesaksian dan pengakuan para ulama besar Ahlus sunnah yang telah kami sebutkan pada artikel sebelumnya, sudah cukup menjadi bukti kuat atas beberapa fatwa Ibnu Taimiyyah yang menyimpang dari ajaran ahlus sunnah wal jama’ah baik masalah furu’ maupun ushulnya. Karena para ulama saat itu yang hidup di masa Ibnu Taimiyyah memang benar-benar menyaksikan peristiwa dan kronologinya, bahkan sebagian ulama saat itu ada yang mengabadikan peristiwa tersebut dalam karya tulis mereka, seperi imam Taqiyyudin as-Subuki dengan banyak kitab karyanya seperti Ad-Durrah al-Mudhiyyah, Fatawa as-Subuki dan lainnya, Imam Syekh Ahmad ibn Yahya al-Kullabi al-Halabi yang dikenal dengan sebutan Ibn Jahbal dengan kitabnya Risâlah Fî Nafyi al-Jihah, syaikh Kamaluddin Muhammad ibn Abi al-Hasan Ali as-Sarraj ar-Rifa’i al-Qurasyi asy-Syafi’i, imam ash-Shofadi, Syekh Ahmad ibn Ibrahim as-Suruji al-Hanafi , dengan kitabnya I’tirâdlât ‘Alâ Ibn Taimiyah Fi ‘Ilm al-Kalâm, Sejarawan terkemuka (al-Mu-arrikh) al-Faqîh al-Mutakallim al-Fakhr ibn Mu’allim al-Qurasyi dengan kitabnya Najm al-Muhtadî Wa Rajm al-Mu’tadî, Al-Faqîh Muhammad ibn Ali ibn Ali al-Mazini ad-Dahhan ad-Damasyqi (w 721 H) dengan kitabnya Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah ath-Thalâqdengan karya tulisnya Risâlah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fî Mas-alah az-Ziayârah, al-Hafidz Ibnu Katsir dengan kitabnya al-Bidayah wa an-Nihayah, al-Hafidz Ibnu Rajab dengan kitabnya Bayân Musykil al-Ahâdîts al-Wâridah Fî Anna ath-Thalâq ats-Tsalâts Wâhidah dan banyak lainnya. Demikian juga ulama setelahnya yang tidak jauh jarak kurunnya, seperti al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani dengan kitabnya ad-Durar al-Kaminan, Al-Faqîh Abu al-Qasim Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad asy-Syirazi (w 733 H) dengan karya tulisnya Risâlah Fi ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah, Al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi (745 H) dengan karya tulisnya Tafsîr an-Nahr al-Mâdd Min al-Bahr al-Muhîth, Seorang ulama ahli sejarah terkemuka (al-Mu-arrikh) Syekh Ibn Syakir al-Kutubi (w 764 H) dengan karya tulisnya ‘Uyûn at-Tawârikh, Syekh Umar ibn Abi al-Yaman al-Lakhmi al-Fakihi al-Maliki (w 734 H) dengan kitabnyaat-Tuhfah al-Mukhtârah Fî ar-Radd ‘Alâ Munkir az-Ziyârah, Syekh Isa az-Zawawi al-Maliki (w 743 H). Dengan kitabnya Risâlah Fî Mas-alah ath-Thalâq, Syekh Ahamad ibn Utsman at-Turkimani al-Jauzajani al-Hanafi (w 744 H) dengan kitabnya al-Abhâts al-Jaliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah, Imam al-Hâfizh Waliyuddin al-Iraqi (w 826 H) dengan kitabnya al-Ajwibah al-Mardliyyah Fî ar-Radd ‘Alâ al-As-ilah al-Makkiyyah, Al-Faqîh al-Mutakallim Abu Bakar al-Hushni penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr (829 H). Dengan kitabnya Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarrad Wa Nasaba Dzâlika Ilâ Imam Ahmad, Syekh Muhammad ibn Ahmad Hamiduddin al-Farghani ad-Damasyqi al-Hanafi (w 867 H) dengan kitabnya ar-Radd ‘Alâ Ibn Taimiyah Fi al-I’tiqâdât dan masih banyak lagi ulama lainnya.
Para ulama besar sama ada yang hidup semasa dengan Ibnu Taimiyyah ataupun hidup setelahnya di kurun yang tidak begitu jauh, telah mengabadikan fatwa-fatwa Ibnu Taimiyyah yang menyimpang dan menuliskan kronologinya serta membuat bantahan atasnya. Semua itu merupakan bukti nyata yang sangat kuat atas penyimpangan Ibnu Taimiyyah dalam beberapa pendapat dan fatwanya sama ada dalam masalah furu’ ataupun ushul.
Dan dalam artikel ini, kami akan membuktikan kebenaran para ulama tersebut atas apa yang mereka tuliskan tentang penyimpangan Ibnu Taimiyyah melalui karya-karya tulisnya sendiri. Sebelum kami tampilkan nash-nash Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya, ada baiknya kita mengetahui uslub atau metodhe Ibnu Taimiyyah dalam menulis kitabnya.
Ketika kita membaca pemaparan dan penjelasan Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya, maka kita tidak akan bisa memastikan menisbatkan Ibnu Taimiyyah mengikuti golongan Islam yang mana, karena kita dapati terkadang Ibnu Taimiyyah memilih pendapat yang diambil dari pendapat Karamiyyah, tetapi kadang juga menentangnya di tempat lainnya. Terkadang ia juga berpegang dengan masalah lainnya menurut ahli falsafah, kadang juga ia memilih pendapat Mu’tazilah, menentang syi’ah kadang juga bersesuaian dengan syi’ah di sebagian masalah furu’nya. Di samping ini semua, Ibnu Taimiyyah memiliki banyak masalah-masalah menyendiri yang belum pernah diucapkan oleh ulama sebelumnya.
Dalam kitab-kitabnya, Ibnu Taimiyyah jarang sekali mengutarakan pendapat dari dirinya secara langsung, akan tetapi ia sering mengutarakan keyakinan dan pemahamannya dengan ungkapan, “ Ahlul itsbat (orang yang menetapkan), ulama salaf, para imam, para imam sunnah atau ahlu hadits dan semacamnya “ dan jarang sekali mengutarakan “ Aku katakan, pendapatku, menurutku, pandanganku atau semisalnya “.
Pandangan Ibnu Taimiyyah dalam masalah akidah :
1. al-Imam al-Hafidz Taqiyyuddin Ali bin Abdil Kafi as-Subuki:
أما بعد، فإنه لما أحدث ابن تيمية ما أحدث في أصول العقائد، ونقض من دعائم الإسلام الأركان والمعاقد، بعد أن كان مستترا بتبعية الكتاب والسنة، مظهرا أنه داع إلى الحق هاد إلى الجنة، فخرج عن الاتباع إلى الابتداع، وشذ عن جماعة المسلمين بمخالفة الإجماع، وقال بما يقتضي الجسمية والتركيب في الذات المقدس
“ Amma ba’du, sesungguhnya ketika Ibnu Taimiyyah melakukan suatu hal yang baru dalam pokok akidah, dan membatalkan dari pondasi-pondasi Islam, rukun dan dasar akidah, setelah ia menutup dengan mengikuti al-Quran dan Sunnah, menampakkan bahwa ia mengajak kepada kebenaran, menunjukkan kepada surga, kemudian ia keluar dari mengikuti itu semua menuju bid’ah, dan menyempal dari kumpulan Muslimin dengan melanggar ijma’ dan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan penjisiman dan susunan terhadap Dzat Allah Yang Maha Suci…”[1]
2. al-Hafidz Shalahuddin al-‘Alaai (guru al-Hafidz al-Iraqi) mengatakan :
وأما مقالاته في أصول الدين فمنها قوله : إنَّ الله سبحانه محل الحوادث، تعالى الله عما يقول علوا كبيرا. وانه مركب مفتقر إلى ذاته افتقار الكل إلى الجزء. وان القرءان مُحدَث في ذاته تعالى. و أنَّ العالم قديم بالنوع ولم يزل مع الله مخلوق دائما، فجعله موجبا بالذات لا فاعلا بالاختيار. ومنها قوله بالجسمية والجهة والانتقال وهو مردود
“ ….Adapaun ucapan-ucapannya dalam masalah ushul Agama di antaranya; Sesungguhnya Allah Ta’ala boleh ditempati dengan hal yang baharu (Maha Suci Allah dari apa yang ia katakan), dan Allah tersusun, butuh terhadap Dzat-Nya sebagaimana butuhnya keseluruhan terhadap satuan. Dan sesungguhnya al-Quran adalah baharu dalam Dzat Allah Ta’ala, sesungguhnya alam ini maha dahulu secara nau’nya dan senantiasa Allah bersama makhluk-Nya, maka ia mewajibkan selalu bersama Dzat bukan berbuat secara ikhtiyar. Di antara ucapannya juga yaitu bahwa Allah berjisim dan berarah dan berpindah, ini adalah tertolak “.[2]
3. Syaikh ‘Imaduddin Abul Fida mengatakan :
وفيها استدعي تقي الدين أحمد بن تيمية من دمشق إلى مصر ، وعقد له مجلس ، وأمسك وأودع الاعتقال ، بسبب عقيدته ، فإنه كان يقول بالتجسيم على ما هو منسوب إلى ابن حنبل
“ Dan pada tahun 705 H, Taqiyyudin Ahmad bin Taimiyyah berangkat dari Damaskus menuju Mesir, dan membuat suatu majlis, lalu ia ditahan di buih sebab akidahnya, karena konon ia mengucapkan tajsim yang ia nisbatkan kepada Ahmad bin Hanbal “.[3]
4. Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy. Beliau mengatakan dalam kitabnya :
وان العالم قديم بالنوع ولم يزل مع الله مخلوفا دائما فجعله موجتا بالذات لا فاعلأ بالاختيار تعالى الله عن ذلك، وقوله بالجسمية، والجهة والانتقال، وانه بقدر العرش لا أصغر ولا أكبر، تعالى الله عن هذا الافتراء الشنيع القبيح والكفر البراح الصريح
“ (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa Alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Swt bukan dengan perbuatan Allah scra ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Swt, arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata “.[4]
Benarkah ucapan dan pengakuan para ulama di atas ? atau apakah para ulama di atas hanya melontarkan tuduhan, dusta datau fitnah terhadap Ibnu Taimiyyah ?
– Jisim tidak dinafikan bagi Allah dan tidak ditetapkan.
Ibnu Taimiyyah mengatakan :
وأما الشرع فمعلوم أنه لم ينقل عن أحد من الأنبياء ولا الصحابة ولا التابعين ولا سلف الأمة أن الله جسم أو أن الله ليس بجسم، بل النفي والإثبات بدعة في الشرع
“ Adapun dari segi syare’at, maka sudah diketahui bahwasanya tidak dinaqal seorang pun dari para nabi, sahabat, tabi;in dan ulama salaf bahwa Allah itu jisim dan bahwa Allah tidaklah jisim. Bahkan menafikan jisim dan menetapkannya adalah bid’ah dalam syare’at “.[5]
Komentar :
Setelah Ibnu Taimiyyah menjelaskan makna jisim dari segi lughah, ia meyakini bahwa jisim dari segi syare’at tidak ada satupun naqalan nash dari para nabi, sahabat, tabi’in dan ulama salaf. Dan juga Ibnu Taimiyyah meyakini bahwa menafikan jisim dan menetapkan jisim bid’ah dalam syare’at.
Ibnu Taimiyyah mengatakan :
وكذلك قوله { ليس كمثله شيء وهو السميع البصير } [ سورة الشورى] وقوله { هل تعلم له سميا} [سورة مريم] ونحو ذلك فإنه لا يدل على نفي الصفات بوجه من الوجوه بل ولا على نفي ما يسميه أهل الاصطلاح جسما بوجه من الوجوه
“ Demikian juga firman Allah, “ Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai Allah dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat “ (QS. Asy-Syura) dan firman Allah, “ Apakah kamu mengetahui nama bagi Allah “ (QS. Maryam) dan semisalnya, sesungguhnya hal itu tidak menunjukkan atas penafian sifat-sifat dari segi apapun, bahkan tidak menunjukkan atas penafian makna jisim menurut ahli istilah dari segi apapun “.[6]
Komentar :
Dalam nash ini Ibnu Taimiyyah meyakini bahwa jisim makna menurut istilah tidak bisa dinafikan dari sudut mamanpun.
Ibnu Taimiyyah mengatakan :
أما ما ذكره من لفظ الجسم وما يتبع ذلك فإن هذا اللفظ لم ينطق به في صفات الله لا كتاب ولا سنة لا نفيًا ولا إثباتًا، ولا تكلم به أحد من الصحابة والتابعين وتابعيهم لا أهل البيت ولا غيرهم
“ Adapun apa yang telah disebutkan dari lafaz jisim dan apa yang mengikutinya, maka lafaz ini tidak disebutkan di dalam sifat-sifat Allah, sama ada di dalam kitab atau pun sunnah, sama ada di dalam menafikan ataupun menetapkan. Dan juga tidak seorang pun membicarakannya dari sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in dan dari kalangan ahlul bait dan selainnya “.[7]
Ibnu Taimiyyah juga mengatakan :
وقد يراد بالجسم ما يشار إليه أو ما يُرى أو ما تقوم به الصفات، والله تعالى يُرى في الآخرة وتقوم به الصفات ويشير إليه الناس عند الدعاء بأيديهم وقلوبهم ووجوههم وأعينهم، فان أراد بقوله: ليس بجسم هذا المعنى قيل له: هذا المعنى الذي قصدت نفيه بهذا اللفظ معنى ثابت بصحيح المنقول وصريح المعقول، وأنت لم ئقم دليلأ على نفيه
“ Terkadang yang dimaksud jisim adalah sesuatu yang diisyaratkan atau sesuatu yang dilihat atau sesuatu yang didirikan oleh sifat, sedangkan Allah Ta’ala dapat dilihat kelak di akherat, dan Allah berdirinya denganny sifat-sifat, dan diisyaratkan dengannya oleh manusia ketika doa dengan tangan mereka, hati, wajah dan mata. Maka jika bermaksud dengan ucapannya “ Allah bukanlah jisim dengan makna ini “, maka dijawab, “ Makna ini yang kamu nafikan dengan makna ini justru makna yang tsabit dan sahih secara dalil naql dan akal, sedangkan kamu tidak menegakkan hujjah atas penafiannya “.[8]
Komentar :
Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa jisim terkadang diartikan dengan sesuatu yang diisyaratkan, dilihat atau sesuatu yang berdiri atasnya sifat-sifat. Dan Allah menurutnya sesuai itu semua. Lalu Ibnu Taimiyyah membuat bantahan terhadap orang yang menafikan makna jisim seperti kepada Allah dan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa makna jisim seperti itu adalah telah tsabit (kukuh) dengan dalil sahih secara naql dan akal. Dan ia pun mengklaim bahwa orang yang menolak makna jisim seperti itu tidak membawakan dalil atas penafiannya.
Ibnu Taimiyyah mengatakan :
ثم لفظ التجسيم لا يوجد في كلام أحد من السلف لا نفيًا ولا إثباتًا، فكيف يحل أن يقال: مذهب السلف نفي التجسيم أو إثباته بلا ذكر لذلك اللفظ ولا لمعناه عنهم
“ Kemudian lafaz tajsim tidak ditemukan di dalam ucapan seorang salaf pun sama ada secara penafian atau pun penetapan, lalu bagaimana boleh dikatakan bahwa mazhab salaf itu menafikan tajsim atau menetapkan tajsim tanpa menyebutkan lafaz tersebut serta tanpa menyebut maknanya dari salaf? “[9]
Komentar :
Point ini Ibnu Taimiyyah menyimpulkan bahwa mazhab salaf bukanlah menafikan tajsim atau menetapkannya, kerana tidak ditemukan dalam ucapan salaf yang menafikan tajsim atau menetapkannya.
Ibnu Taimiyyah juga mengatakan :
ولهذا لمّا كان الردّ على من وصف الله تعالى بالنقائص بهذه الطريق طريقاً فاسداً, لم يسلكه أحد من السلف والأئمة, فلم ينطق احد منهم في حق الله بالجسم لا نفياً ولا إثباتاً, ولا بالجوهر والتحيز ونحو ذلك لأنها عبارات مجملة لا تحق حقاً ولا تبطل باطلاً ولهذا لم يذكر الله في كتابه فيما أنكره على اليهود وغيرهم من الكفّار ماهو من هذا النوع, بل هذا هو من الكلام المبتدع الذي أنكره السلف والأئمة.
“ Oleh sebab itu, ketika bantahan terhadap orang yang mensifati Allah Ta’ala dengan kekurangan-kekurangan dengan cara seperti ini adalah cara yang rusak, maka para tidak seoarang pun dari kalangan salaf dan imam yang menggunakan cara seperti itu, tidak seorang pun dari mereka bagi Allah dengan jisim dengan menafikan atau menetapkannya (menisbahkannya), dan juga tidak dengan ucapan jauhar (materi), tahayyuz (batasan) dan semisalnya kerana itu adalah ungkapan-ungkapan yang umum yang tidak dapat membenarkan yang benar dan mebatalkan yang bathil. Oleh sebab itu Allah tidak menyebutkan di dalam kitab-Nya pada apa yang diingkari oleh Yahudi dan selainnya dari kalangan kafir, yang merupakan bagian dari macam ini, bahkan ini termasuk ucapan bid’ah yang diingkari oleh salaf dan para imam “[10]
Komentar :
Dalam nash ini, Ibnu Taimiyyah berpandangan bahwa membantah orang yang mensifati kekurangan bagi Allah dengan cara menafikan jisim, adalah cara yang rusak. Dan mengatakan bahwa orang yang mengingkari akidah Yahudi dan kaum kafir dengan cara menafikan jisim adalah ucapan yang bid’ah yang menurutnya telah diingkari oleh ulama salaf dan para imam.
Penjelasan dan Bantahan :
Dalam nash-nash Ibnu Taimiyyah di atas, maka disimpulkan :
1. Bahwasanya Ibnu Taimiyyah memiliki keyakinan bahwa ulama salaf tidak menafikan jisim dari Allah dan juga tidak menetapkannya (menisbahkannya).
2. Membantah dengan cara menafikan jisim, adalah cara yang salah dan bid’ah yang diingkari oleh ulama salaf dan para imam.
Bantahan :
Pernyataan Ibnu Taimiyyah tersebut sama sekali tidak benar. Banyak sekali para ulama salaf yang menafikan jisim bagi Allah Ta’ala :
A-lmam Abu al-Hasan al-Asy’ari mengatakan :
وَقَالَ اَهْلُ السُّنَّةِ وَاَصْحَابُ اْلحَدِبْثِ : لَيْسَ بِجِسْمٍ وَلاَيُشْبِهُ اْلاَشْيَاءَ
“ Ahlus sunnah dan ahli hadits mengatakan : “ Allah tidak memiliki jisim (anggota /organ tubuh) dan tidak menyerupai sesuatu “.[11]
Imam Ali Radhiallahu ‘anhu mengatakan :
سَيَرْجِعُ قَوْمٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ عِنْدَ إِقْتِرَابِ السَّاعَةِ كُفَّارًا يُنْكِرُونَ خَالِقَهُمْ فَيَصِفُوْنَهُ بِاْلجِسْمِ وَاْلأَعْضَاءِ
“ Suatu kaum dari umat ini mendekati kiamat akan kembali menjadi kafir, mereka mengingkari Pencipta mereka, lalu mensifati-Nya dengan jisim dan anggota tubuh “.[12]
Bahkan telah dinukil oleh pemimpin Hanabilah Abul Fadhl at-Tamimi bahwasanya imam Ahmad bin Hanbal berkata :
وَأَنْكَرَ – يَعْنيِ أَحْمَدَ- عَلىَ مَنْ يَقُوْلُ بِاْلجِسْمِ وَقَالَ إِنَّ اْلأَسْمَاءَ مَأْخُوْذَةٌ مِنَ الشَّرِيْعَةِ وَاللُّغَةِ ، وَأَهْلُ اللُّغَةِ وَضَعُوا هَذاَ اْلاِسْمِ عَلىَ ذِي طُوْلٍ وَعَرْضٍ وَسَمْكٍ وَتَرْكِيْبٍ وَصُوْرَةٍ وَتَأْلِيْفٍ وَاللهُ تَعَالىَ خَارِجٌ عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسَمِّىَ جِسْمًا لِخُرُوْجِهِ عَنْ مَعْنىَ اْلجِسْمِيَّةِ وَلَمْ يَجِئْ فيِ الشَّرِيْعَةِ ذَلِكَ فَبَطَلَ
“ Imam Ahmad mengingkari orang yang berpendapat Allah itu berjisim dan berkata : “ Sesungguhnya nama-nama itu diambil dari Syare’at dan bahasa. Ulama ahli bahasa meletakkan nama (jisim) ini kepada sesuatu yang memiliki ukuran panjang, lebar, tinggi, bagian, gambar dan susunan sedangkan Allah keluar dari itu semua, maka tidak boleh mengatakan Allah itu jisim karena mustahilnya Allah dari makna kejisiman dan juga tidak ada sandaran dalam Sayare’at “.[13]
Jelas sudah bahwasanya para ulama salaf telah menyatakan bahwa jisim dinafikan dari Allah Ta’ala, ini bertolak belakang dengan pernyataan Ibnu Taimiyyah di atas.
Dan anggapan Ibnu Taimiyyah bahwa menafikan jisim bagi Allah adalah bid’ah dalam syare’at juga tidak benar sama sekali.
Al-Imam al-Hafidz Abu Bakar al-Isma’ili (w 371 H) mengatakan :
أنهم يرون الله عز وجل من غير اعتقاد التجسيم في الله تعالى ولا التحديد له، ولكن يرونه جلّ وعزّ بأعينهم على ما يشاء بلا كيف
“ Sesungguhnya kaum mukminin, akan melihat Allah Ta’ala tanpa keuakinan tasjim (penjisiman) dan tahdid (pembatasan) kepada Allah Ta’al, akan tetapi mereka melihat Allah Ta’ala dengan mata mereka atas kehendak Allah tanpa visualisasi “.[14]
Di halaman sebelumnya, beliau juga mengatakan :
ولا يُعتقَدُ فيه تعالى الأعضاءُ والجوارحُ، ولا الطولُ والعرضُ، والغلظُ والدقّة، ونحو هذا مما يكون مثله في الخلق، فإنه ليس كمثله شيء، تبارك وجهُ ربنا ذي الجلال والإكرام
“ Dan Allah Ta’ala tidak boleh diyakini memiliki anggota tubuh dan jarihah, juga ukuran panjang, lebar, kasar, halus dan semisal ini dari sesuatu yang ada sepertinya pada makhluk, kerana Allah Ta’ala tidak serupa dengan sesuatu apapun, Maha Berkah Allah Ta’ala Tuhan Yang Memiliki Keagungan dan Kemuliaan “.[15]
Imam Baihaqi mengatakan :
“ Dan turunnya Allah bukanlah dengan sifat perpindahan, diri-Nya bukanlah dengan jisim, wajah-Nya bukanlah dengan bentuk rupa, tangn-Nya bukanlah dengan jarihah (organ tubuh), mata-Nya bukanlah dengan kelopak. Sesungguhnya sifat-sifat ini datang dengan tauqif, maka kami mengatakannya dan kami menafikan takyif bagi Allah. Allah telah berfirman : “ Tidak ada sesuatu pun seperti Allah “, Allah juga berfirman : “ Tidak ada sesuatu yang sekufu dengan Allah “, Allah juga berfirman : “ Apakah kamu mengetahu nama bagi-Nya “.[16]
Imam al-Qurthubi mengatakan dalam kitab tafsirnya :
السادسة: قوله تعالى: { فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَاءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ } قال شيخنا أبو العباس رحمة الله عليه: متبِعو المتشابه لا يخلو أن يتبعوه ويجمعوه طلباً للتشكيك في القرآن وإضلالِ العوامّ، كما فعلته الزنادقة والقرامِطة الطاعنون في القرآن؛ أو طلباً لاعتقاد ظواهر المتشابه، كما فعلته المجسِّمة الذِين جمعوا ما في الكتاب والسنة مما ظاهره الجِسمية حتى ٱعتقدوا أن البارىء تعالى جسم مجسم وصورة مصوّرة ذات وجه وعين ويد وجنب ورجل وأصبع، تعالى الله عن ذلكٰ…
“Keenam: Firman Allah ((mereka mengikut apa yang samar daripadanya untuk mengkehendaki fitnah dan mengkehendaki ta’wilnya)). Guru kami Abu Al-Abbas berkata: “Mereka yang mengikuti mutasyabihat tidak lain apakah mengikuti mutasyabihat dan menghimpunkannya (menghimpunkan ayat-ayat mutasyabihat untuk menetapkan makna dhahir atau menetapkan kontradiksi antara ayat-ayat Al-Qur’an) untuk membuat keraguan dalam Al-Qur’an dan menyesatkan orang awam sebagaimana yang dilakukan oleh Zindiq, Qaramithoh yang menuduh Al-Qur’an, ataupun percaya/berpegang dengan dhahir-dhahir (makna dhahir) mutasyabih sebagaimana yang dilakukan oleh mujassimah yang menghimpun yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mana makna dhahirnya mengandungi makna kejisiman, lalu mempercayai Allah itu suatu jisim yang berjisim, suatu rupa yang mempunyai rupa bentuk, yang mempunyai wajah, mata, tangan, sisi, kaki dan jemari yang mana maha suci Allah daripadanya (sifat-sifat tersebut)….”[17]
Imam Abul Hayyan (754 H) ketika menafsirkan ayat ke tujuh dari surat Ali Imran mengatakan :
)) فيتبعون ما تشابه منه(( قال القرطبي: متبعو المتشابه إما طالبو تشكيك وتناقض وتكرير، وإما طالبو ظواهر المتشابه: كالمجمسة إذ أثبتوا أنه جسم، وصورة ذات وجه، وعين ويد وجنب ورجل وأصبع.
“((mereka yang mengikuti kesamaran daripadanya)):
“Imam Al-Qurthubi berkata: Mereka adalah yang mengikut mutasyabihat apakah menginginkan utk meragukan, atau mendakwa ada pertentangan dalam Al-Qur’an atau pengulangan. Ataupun, mereka yang meinginkan dhahir-dhahir mutasyabih seperti golongan mujassimah yang menetapkan bahawasanya Allah itu jisim, menetapkan rupa bentuk bagi zat itu adalah wajah, menetapkan mata, tangan, bahu, kaki dan jemari bagiNya…”
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah juga mengatakan :
إِنَّ اللهَ تَعَالىَ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ , مَنَزَّهٌ عَنِ التَّجْسِيْمِ وَاْلاِنْتِقَالِ وَالتَّحّيُّزِ فيِ جِهَةِ وَعَنْ سَائِرِ صِفَاتِ اْلمَخْلُوْقِ
“ Sesungguhnya Allah Ta’aala tidak ada sesuatupun yang menyerupainya, Maha Suci dari tajsim (bentuk dan sifat makhluk), berpindah dan dari terbatas dengan arah dan dari semua sifat makhluk-Nya “[18]
Ibnu Baththal mengatakan sebagaimana dinaqal oleh al-Hafidz Ibnu Hajar berikut :
وقال ابن بطال احتجت المجسمة بهذا الحديث وقالوا في قوله [وأشار بيده إلى عينه] دلالة على ان عينه كسائر الأعين وتعقب باستحالة الجسمية عليه لأن الجسم حادث وهو قديم فدل على ان المراد نفي النقص عنه انتهى
“ Ibnu Bththal berkata : “ Kaum Mujassimah berhujjah dengan hadits tersebut dan mereka mengatakan tentang ucapan ini, “ Dan beliau mengisyaratkan tangan ke matanya “, adalah dalil seperti mata lainnya. Lalu (Ibnu Baththal) mengomentarinya dengan kemustahilan jisim bagi Allah, keraan jisim itu menunjukkan baharu sedangkan Allah Maha Dahulu, maka menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah menafikan sifat kekurangan dari Allah “. (selesai) “. [19]
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Fathul Barinya mengatakan :
غرض البخاري في هذا الباب الرد على الجهمية المجسمة في تعلقها بهذه الظواهر، وقد تقرر أن الله ليس بجسم فلا يحتاج إلى مكان يستقر فيه ، فقد كان ولا مكان ، وإنما أضاف المعارج إليه إضافة تشريف ، ومعنى الارتفاع إليه اعتلاؤه – أي تعاليه – مع تنزيهه عن المكان
“ Tujuan imam Bukhari dalam bab ini adalah membantah kaum jahmiyyah mujassimah di dalam bergantungnya dengan makna-makna dhahir ini. Telah tetap bahwasanya Allah bukanlah jisim, maka Dia tidak butuh terhadap tempat untuk ditempatinya, Allah ada tanpa tempat. Sesungguhnya Allah menyandarkan Ma’arij kepada-Nya adalah sebagai sandaran kemuliaan. Dan makna irtifa’ adalah tinggi yakni luhur beserta penyucian Allah dari tempat “.[20]
Dari hujjah-hujjah para ulama di atas, menjadi bukti bahwasanya metode membantah kaum mujassimah dengan cara menafikan sifat tajsim bagi Allah telah dilakukan oleh para ulama salaf maupun kholaf dan terbukti bukanlah hal yang bid’ah dan bukan cara yang salah sebagaimana dituduhkan Ibnu Taimiyyah.
Tajsim Menurut Ibnu Taimiyyah.
Ibnu Taimiyyah menyebutkan definisi jisim di sisi ahli bahasa :
فإنّ الجسم عند أهل اللغة – كما ذكره الأصمعي وأبو زيد وغيرهما – هو الجسد والبدن. قال تعالى: (( وإذا رأيتهم تعجبك أجسامهم )) وقال تعالى: (( وزاده بسطةً في العلم والجسم )) فهو يدل في اللغة على معنى الكثافة والغلظ كلفظ الجسد, ثم قد يراد به نفس الغليظ, وقد يراد به غلظه فيقال: لهذا الثوب جسم, أي غلظ وكثافة… ثم صار الجسم في اصطلاح أهل الكلام أعم من ذلك, فيسمّون الهواء وغيره من الاُمور اللطيفة جسماً وإن كانت العرب لا تسمي هذا جسماً… والنظّار كلهم متّفقون – فيما أعلم – على أنّ الجسم يشار إليه
“ Sesungguhnya jisim menurut ahli bahasa – sebagaimana disebutkan oleh al-Ashma’i dan Abu Zaid dan selainnya – adalah jasad dan badan. Allah berfirman, “ Dan jika kamu melihat mereka, maka kamu akan mengagumi badan mereka “, dan Allah Ta’ala berfirman, “ Dan Allah memberikan kelebihan dalam ilmu dan badannya “. Itu menunjukkan dalam bahasa atas makna tebal dan keras seperti lafaz jasad. Terkadang yang dimaksud keras itu sendiri atau kadang sifat kerasnya, maka dikatakan, “ Baju ini jisim “ artinya tebal dan keras. Kemudian jisim menjadi lebih umum maknanya di sisi ahlu kalam, maka mereka menamakan udara dan lainnya dari perkara-perkara lembut dengan jisim, walau pun orang Arab tidak menakaman itu dengan jisim. Sedangkan para nudhdhzar (peneliti) semuanya sepakat –sepengetahuanku- bahwa jisim itu diisyaratkan padanya “.[21]
Komentar :
Point di sini, Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa :
– Jisim menurut ahli bahasa adalah jasad dan badan yakni sesuatu yang menunjukkan makna tebal dan keras.
– Jisim menurut ahli kalam maknanya lebih luas yakni mencangkup sesuatu yang keras, tebal ataupun yang halus dan lembut seperti udara.
– Menurut ahli nadzhar, jisim itu sesuatu yang bisa diisyaratkan
Ibnu Taimiyyah juga mengatakan :
ثم المتكلمون من أهل الإثبات لما ناظروا المعتزلة تنازعوا في الألفاظ الاصطلاحية فقال قوم: العلم والقدرة ونحوهما لا تكون إلا عرضا وصفة حيث كانا فعلم الله وقدرته عرض ، وقالوا أيضا: أن اليد والوجه لا تكون إلا جسما -فيد الله ووجهه- كذلك والموصوف بهذه الصفات لا يكون إلا جسما فالله تعالى جسم لا كالأجسام، قالوا:وهذا مما لا يمكن النزاع فيه إذا فهم المعنى المراد بذلك، لكن أي محذور في ذلك؟ وليس في كتاب الله ولا سنة رسوله ولا قول أحد من سلف اللامة و أئمتها انه ليس بجسم، وان صفاته ليست أجساما و أعراضا ! فنفي المعاني الثابتة بالشرع والعقل بنفي ألفاظ لم ينف معناها شرع ولا عقل :جهل وضلال
“ Para ahli kalam dari kalangan istbat (yang menetapkan) ketika mendebat mu’tazilah, mereka saling berseteruh di dalam lafaz-lafaz istilah. Satu kaum mengatakan, “ Ilmu dan Qudrah dan semisalnya itu tidak ada kecuali berupa ‘arhd dan sifat di manapun keduanya berada, maka ilmu dan qudrah Allah adalah ‘ardh “. Mereka juga mengatakan, “ Sesungguhnya tangan, wajah tidak ada kecuali berbentuk jisim, maka demikian juga tangan dan wajah Allah. Dan setiap sesuatu yang bersifat dengan sifat itu, tidak ada kecuali jisim. Maka Allah Ta’ala adalah jisim yang tidak seruapa dengan jisim lainnya “. Mereka mengatakan, “ Dan ini termasuk perkara yang tidak boleh berseteru di dalamnya jika memahami makna yang di maksud dengannya, akan tetapi di manakah bahayanya dalam hal itu ? dan tidak ada dalam kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya dan tak seorang pun dari ucapan ulama salaf yang mengatakan bahwa Allah bukan jisim dan bahwa sifat-sifatnya Allah bukanlah jisim dan ‘ardh ? maka menafikan makna-makna yang sudah tsabit dengan syare’at dan akal, dengan menafikan lafaz-lafaz yang maknanya tidak dinafikan syare’at dan akal adalah kebodohan dan kesesatan “.[22]
Komentar :
Point dalam teks Ibnu Taimiyyah tersebut adalah :
– Ibnu Taimiyyah menaqal ucapan ahlul kalam dari kalangan itsbat tentang perseteruan lafaz-lafaz istilah. Yang menurutnya menjadi beberapa kesimpulan :
a. Ilmu, Qudrah dan semisalnya adalah berbentuk ‘ardh dan sifat, maka ilmu dan qudrah Allah adalah ‘ardh dan sifat.
b. Yad dan wajah adalah jisim demikian juga yad dan wajah Allah. Semua yang bersifat dengan yad dan wajah adalah jisim, maka Allah adalah jisim yang tidak serupa dengan jisim.
Lalu Ibnu Taimiyyah menggunakan kata “ قالوا “ untuk menuturkan sebuah alasan bahwa semua itu tidak boleh diperseterui jika memahami makna yang dimaksud. Dan bahwa hal seperti itu tidaklah berbahaya, karena tidak ada satu pun nash dari al-Quran maupun sunnah dan bahkan dari ulama salaf yang menyatakan, “ Allah tidak berjisim “ dan “ Sifat-sifat-Nya Allah bukanlah jisim dan ‘ardh “ .
Demikian juga menafikan makna-makna yang diterima oleh syare’at dan akal,dengan menafikan lafaz-lafaz yang maknanya tidak dinafikan oleh syare’at dan akal adalah suatu keboodhan dan kesesatan.
Walaupun Ibnu Taimiyyah membuat kesan ini adalah ucapan ahlu kalam dari kalangan itsbat, akan tetapi secara jelas ini juga diyakini oleh Ibnu Taimiyyah, kenapa ? kerana sesuai (selari) dengan pemahaman Ibnu Taimiyyah sebagaimana telah kami jelaskan di awal pembahasan dengan nash-nash Ibnu Taimiyyah sendiri. Seperti :
Ibnu Taimiyyah mengatakan :
أما ما ذكره من لفظ الجسم وما يتبع ذلك فإن هذا اللفظ لم ينطق به في صفات الله لا كتاب ولا سنة لا نفيًا ولا إثباتًا، ولا تكلم به أحد من الصحابة والتابعين وتابعيهم لا أهل البيت ولا غيرهم
“ Adapun apa yang telah disebutkan dari lafaz jisim dan apa yang mengikutinya, maka lafaz ini tidak disebutkan di dalam sifat-sifat Allah, sama ada di dalam kitab atau pun sunnah, sama ada di dalam menafikan ataupun menetapkan. Dan juga tidak seorang pun membicarakannya dari sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in dan dari kalangan ahlul bait dan selainnya “.[23]
Ibnu Taimiyyah mengatakan :
وأما الشرع فمعلوم أنه لم ينقل عن أحد من الأنبياء ولا الصحابة ولا التابعين ولا سلف الأمة أن الله جسم أو أن الله ليس بجسم، بل النفي والإثبات بدعة في الشرع
“ Adapun dari segi syare’at, maka sudah diketahui bahwasanya tidak dinaqal seorang pun dari para nabi, sahabat, tabi;in dan ulama salaf bahwa Allah itu jisim dan bahwa Allah tidaklah jisim. Bahkan menafikan jisim dan menetapkannya adalah bid’ah dalam syare’at “.[24]
Ibnu Taimiyyah juga mengatakan :
وقد يراد بالجسم ما يشار إليه أو ما يُرى أو ما تقوم به الصفات، والله تعالى يُرى في الآخرة وتقوم به الصفات ويشير إليه الناس عند الدعاء بأيديهم وقلوبهم ووجوههم وأعينهم، فان أراد بقوله: ليس بجسم هذا المعنى قيل له: هذا المعنى الذي قصدت نفيه بهذا اللفظ معنى ثابت بصحيح المنقول وصريح المعقول، وأنت لم ئقم دليلأ على نفيه
“ Terkadang yang dimaksud jisim adalah sesuatu yang diisyaratkan atau sesuatu yang dilihat atau sesuatu yang didirikan oleh sifat, sedangkan Allah Ta’ala dapat dilihat kelak di akherat, dan Allah berdirinya denganny sifat-sifat, dan diisyaratkan dengannya oleh manusia ketika doa dengan tangan mereka, hati, wajah dan mata. Maka jika bermaksud dengan ucapannya “ Allah bukanlah jisim dengan makna ini “, maka dijawab, “ Makna ini yang kamu nafikan dengan makna ini justru makna yang tsabit dan sahih secara dalil naql dan akal, sedangkan kamu tidak menegakkan hujjah atas penafiannya “.[25]
Bantahan atas keyakinan seperti itu :
Al-Imam al-Hafidz Abu Bakar al-Isma’ili (w 371 H) mengatakan :
ولا يُعتقَدُ فيه تعالى الأعضاءُ والجوارحُ، ولا الطولُ والعرضُ، والغلظُ والدقّة، ونحو هذا مما يكون مثله في الخلق، فإنه ليس كمثله شيء، تبارك وجهُ ربنا ذي الجلال والإكرام
“ Dan Allah Ta’ala tidak boleh diyakini memiliki anggota tubuh dan jarihah, juga ukuran panjang, lebar, kasar, halus dan semisal ini dari sesuatu yang ada sepertinya pada makhluk, kerana Allah Ta’ala tidak serupa dengan sesuatu apapun, Maha Berkah Allah Ta’ala Tuhan Yang Memiliki Keagungan dan Kemuliaan “.[26]
Dari ucapan ini sangat jelas, bahwasanya al-Imam al-Isma’ili menafikan semua kelaziman (konsekuensi) jisim seperti anggota tubuh, ukuran panjang, lebar, kasar halus dan semisalnya dari kelaziman-kelaziman jisim. Dan inilah akidah Ahlus sunnah wal Jama’ah yang dipegang oleh para ulama salaf shalih dan al-Asy’ariyyah.
Dan sebuah pukulan telak dan hantaman keras, bagi pemahaman Ibnu Taimiyyah dan kaum mujassimah adalah ucapan imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah yang dinaqal oleh pemimpin Hanabilah Abul Fadhl at-Tamimi bahwasanya imam Ahmad bin Hanbal berkata :
وَأَنْكَرَ – يَعْنيِ أَحْمَدَ- عَلىَ مَنْ يَقُوْلُ بِاْلجِسْمِ وَقَالَ إِنَّ اْلأَسْمَاءَ مَأْخُوْذَةٌ مِنَ الشَّرِيْعَةِ وَاللُّغَةِ ، وَأَهْلُ اللُّغَةِ وَضَعُوا هَذاَ اْلاِسْمِ عَلىَ ذِي طُوْلٍ وَعَرْضٍ وَسَمْكٍ وَتَرْكِيْبٍ وَصُوْرَةٍ وَتَأْلِيْفٍ وَاللهُ تَعَالىَ خَارِجٌ عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ، فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسَمِّىَ جِسْمًا لِخُرُوْجِهِ عَنْ مَعْنىَ اْلجِسْمِيَّةِ وَلَمْ يَجِئْ فيِ الشَّرِيْعَةِ ذَلِكَ فَبَطَلَ
“ Imam Ahmad mengingkari orang yang berpendapat Allah itu berjisim dan berkata : “ Sesungguhnya nama-nama itu diambil dari Syare’at dan bahasa. Ulama ahli bahasa meletakkan nama (jisim) ini kepada sesuatu yang memiliki ukuran panjang, lebar, tinggi, bagian, gambar dan susunan sedangkan Allah keluar dari itu semua, maka tidak boleh mengatakan Allah itu jisim karena mustahilnya Allah dari makna kejisiman dan juga tidak ada sandaran dalam Sayare’at, maka hal itu bathil “.[27]
Sebenarnya masih banyak sekali nash-nash Ibnu Taimiyyah yang lebih jelas dan terang berkenaan pemahaman tajsimnya. Namun nash-nash di atas sudah cukup membuktikan bahwa apa yang dituduhkan para ulama besar di masa Ibnu Taimiyyah atas keyakinan tajsimnya adalah benar adanya dan sebuah realita yang terukir dalam sejarah. Sebagai penguat untuk membuktikan kekontradiksian dan pelanggaran Ibnu Taimiyyah terhadap kaidah (قاعدة) yang dipaparkannya berkaitan masalah jisim ini kita akan paparkan penjelasan berikut ini :
Ibnu Taimiyyah mengatakan :
لا يجوز أن يجزم بالمعنى الذي أراده الرسول صلى الله عليه وسلم إلا بدليل يدل على مراده، فلو قدّر أن لفظه يحتمل هذا المعنى وهذا المعنى، لم يجز الجزم بأحدهما إلا بدليل
“ Tidak boleh untuk menetapkan makna yang dimaksudkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan dalil yang menunjukkan maksudnya. Seandainya mengirakan bahwa lafaznya mengandung makna ini dan makna ini, maka tidak boleh menetapkannya salah satunya kecuali dengan dalil “.[28]
Ibnu Taimiyyah juga mengatakan :
وقد ذكرنا في جواب المسائل التدميرية الملقب بـ ( تحقيق الاثبات للاسماء والصفات وبيان حقيقة الجمع بين القدر والشرع ” أنه لا يجوز الاكتفاء فيما ينزه الرب عنه علي عدم ورود السمع والخبر به فيقال : كل ما ورد به الخبر أثبتناه وما لم يرد به لم نثبته ، بل ننفيه وتكون عمدتنا في النفي علي عدم الخبر
“ Kami telah menyebutkan di dalam menjawab masalah-masalah Tadmiriyyah yang dijuluki dengan Tahqiq al-atsbat lil asma wa as-shifat wa bayan haqiqatil jam’i baina al-qadri wa asy-syar’i, bahwasanya, “ Tidak boleh cukup terhadap apa yang Allah sucikan darinya atas ketidak adaannya dalil naqli, maka dikatakan, “ Setiap apa yang datang dari khobar, maka kami tetapkannya dan apa yang tidak datang dari khobar, maka kami tidak menetapkannya, akan tetapi kami nafikan, dan sandaran kami di dalam menafikannya berdasarkan tidak adanya khobar “.[29]
Ibnu Taimiyyah berkata :
وإثبات لفظ الجسم ونفيه بدعة لا أصل لها في الكتاب والسنة، ولم يتكلم به أحد من السلف والأئمة، وأهل السنة والجماعة لا يطلقون هذا اللفظ لا نفيًا ولا إثباتًا، كما أنهم لم يثبتوا لفظ التحيز ولا نفوه ولا لفظ الجهة ولا نفوه، ولكن أثبتوا الصفات التي جاء بها الكتاب والسنة، ونفوا مماثلة المخلوقات
“ Menetapkan lafadz jisim dan menafikannya adalah bid’ah tidak ada asalnya dalam Quran dan Sunnah, dan tak seorang ulama salaf pun yang berkata seperti itu. Ahlus sunnah tidak memuthlakkan lafadz jisim ini baik meniadakan atau menetapkan. Sebagaimana mereka tidak menetapkan lafadz berbatas (haiz) dan tidak pula menafikannya. Demikan juga lafdz jihah (arah) mereka tidak menetapkan juga tidak menafikan. Akan tetapi menetapkan sifat-sifat yang dating dari al-Quran dan Sunnah dan menafikan penyerupaan makhluk “. [30]
Namun pada kitab yang lainnya, Ibnu Taimiyyah justru mengatakan :
فاتبع الإمام أحمد طريقة سلفه من أئمة السنة والجماعة المعتصمين بالكتاب والسنة المتبعين ما أنزل [ الله ] إليهم من ربهم وذلك أن ننظر فما وجدنا الرب قد أثبته لنفسه في كتابه أثبتناه وما وجدناه قد نفاه عن نفسه نفيناه وكل لفظ وجد في الكتاب والسنة بالإثبات أثبت ذلك اللفظ وكل لفظ وجد منفيا نفي ذلك اللفظ وأما الألفاظ التي لا توجد في الكتاب والسنة بل ولا في كلام الصحابة والتابعين لهم بإحسان وسائر أئمة المسلمين لا إثباتها ولا نفيها . وقد تنازع فيها الناس فهذه الألفاظ لا تثبت ولا تنفى إلا بعد الاستفسار عن معانيها فإن وجدت معانيها مما أثبته الرب لنفسه أثبتت وإن وجدت مما نفاه الرب عن نفسه نفيت وإن وجدنا اللفظ أثبت به حق وباطل أو نفي به حق وباطل أو كان مجملا يراد به حق وباطل وصاحبه أراد به بعضها لكنه عند الإطلاق يوهم الناس أو يفهمهم ما أراد وغير ما أراد فهذه الألفاظ لا يطلق إثباتها ولا نفيها كلفظ الجوهر والجسم والتحيز والجهة ونحو ذلك من الألفاظ التي تدخل في هذا المعنى فقل من تكلم بها نفيا أو إثباتا إلا وأدخل فيها باطلا وإن أراد بها حقا
“ Imam Ahmad mengikuti metode salafnya dari kalangan imam ahlus sunnah waljama’ah yang berpegang teguh dengan kitab dan sunnah, yang selalu mengikuti apa yang Allah turunkan pada mereka, caranya yaitu dengan kita memperhatikan ; apa yang kita temukan bahwa Allah menetapkan untuk Dzatnya di dalam kitabnya, maka kami tetapkan. Dan apa yang dinafikan oleh-Nya, maka kami nafikan. Setiap lafadz yang ditemukan dalam kitab dan sunnah telah ditetapkan, maka kami tetapkan lafadz itu. Dan setiap lafadz yang kami temukan dinafikan maka kami nafikan lafadz tersebut. Adapun lafadz-lafadz yang tidak ditemukan di dalam kitab bahkan di dalam ucapan para sahabat dan tabi’in dan semua para imam kaum muslimin tentang penetepannya atau penafiannya, sedangkan para ulama berselisih tentang ini, maka lafadz-lafadz ini tidak ditetapkan dan tidak dinafikan kecuali setelah mencari tahu makna-maknanya. Maka jika makna ditemukan sesuai dengan apa yang Allah tetapkan, kita tetapkan dan jika sesuai dengan yang Allah nafikan, maka kita nafikan. Dan jika kita temukan lafadznya ditetapkan bisa bermakna haq dan bathil atau lafadznya dinafikan bisa bermakna haq dan bathil, atau datang secara global yang dimaksud dengan haq dan bathil sedangkan pembicaranya bermaksud sebagiannya saja akan tetapi ketika dimuthlakkan dapat membingungkan manusia atau member pemahaman pada manusia dengan apa yang ia inginkan atau tidak inginkan, maka lafadz seperti ini tidak boleh dimuthlakkan dalam penetapannya atau penafiannya seperti lafadz jauhar (materi), jisim, haiz (batasan) dan jihah (arah) dan yang semisalnya dari lafazd-lafazd yang tidak masuk dalam makna ini, maka sedikit sekali orang yang berbicara dengannya secara penetapan atau penafian kecuali akan dimasuki kebathilan walaupun ia bermaksud kebenaran “.[31]
Komentar :
Kesimpulan apa yang dijelaskan oleh Ibnu taimiyyah di sini adalah, misalnya lafadz jisim jika dimaksudkan adalah sahih (menurut Ibnu Taimiyyah), maka boleh menggunakan lafadz jisim untuk Allah. Jika tidak sahih, maka tidak boleh. Demikian lafadz-lafadz lainnya.
Maka konsekuensinya adalah boleh menggunakan lafadz-lafadz tadi untuk Allah tanpa adanya nash, akan tetapi semata-mata melalui penunjukkan makna sahihnya. Maka jelas menurut Ibnu Taimiyyah bahwa ada sebagian lafadz-lafadz yang sah digunakan untuk Allah dan ada sebagian yang tidak sah.
Di sini Ibnu Taimiyyah mengecualikan lafadz-lafadz yang tidak ditemukan dalam nash al-Quran maupun hadits juga kalam ulama salaf. Artinya Ibnu Taimiyyah tidak menetapkan jisim secara muthlaq dan juga tidak menafikannya secara muthlaq. Jika ada lafadz yang sesuai makna kandungan dalam nash, maka diterima dan jika tidak maka ditolak. Berbeda dengan ulama salaf dan asy’ariyyah yang menafikan makna jisim secara muthlaq sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya. Dan faktanya pun Ibnu Taimiyyah di dalam kitab-kitabnya masih menetapkan lafaz-lafaz yang tidak seorang pun ulama salaf mengatakannya, yang insya Allah di lain kesempatan akan kami huraikan.
Allah bukan di dalam alam dan bukan di luar alam, adalah keyakinan yang rusak menurut Ibnu Taimiyyah.
Ibnu taimiyyah dalam kitab At-Taksis fi ar-Radd ‘ala Asaas at-Taqdis mengatakan : “ Ucapan bahwa kewujudan sesuatu yang wujud tidak di dalam alam atau di luar alam, tidaklah diucapkan seorang yang berakal pun bahwa itu perkara yang seharusnya dipahami. Demikian juga koensekuensi dari uacapan itu seperti Allah tidak berjisim dan tidak ada haiz (batas) dan semisalnya, tidak seorang pun yang berakal mengatakan demikian dan tidak mengatakan bahwa penafian itu seharusnya dipahami. “
Kemudian ia juga mengatakan : “ Kaum yang mengatakan bahwa Allah bukan jisim dan tidak ber-haiz (berbatas), mereka setelahnya berselisih ; apakah Allah di atas alam atau bukan di atas alam? Maka mereka menjadi beberapa kelompok :
– Kelompok mengatakan bahwa Allah di atas alam bahkan di atas Arsy akan tetapi Allah tidak berjisim dan ber-haiz. Ini diucapkan oleh kelompok kullabiyyah, karromiyyah, asy’ariyyah dan sekelompok dari pengikut madzhab empat Hanafiyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanbaliyyah, ahli hadits dan shufiyyah. Dan ini yang dihikayatkan oleh Abul Hasan al-Ays’ary dari ahli hadits dan sunnah.
– Kelompok lain mengatakan Allah tidak di atas alam dan tidak ada sesuatu pun di atas alam. Ini ucapan Jahmiyyah dan Mu’tazilah dan sekelompok dari generasi belakangan asy’ariyyah, ahli filsafah, dan qaramithah. Atau mengatakan Allah berada di setiap tempat dengan Dzat-Nya sebagaimana dikatakan oleh para ahli ibadah kelompok ini, dan mutakallimin, shufiyyah dan kaum awamnya.
– kelompok dari mereka mengatakan bahwa Allah bukan di dalam maupun di luar alam dan tidak bertempat di dalamnya dan tidak disuatu tempat, mereka semua menafikan dua objek yang berlawanan, ini pendapat dari ahli mutakallimin dan ahli nadzar. Objek pertama diucapkan oleh mayoritas kaum awam, ahli ibadah, dan ahli ma’rifah dari mereka. Sedangkan objek kedua dikatakan oleh ahli nadzar mereka, ahli kalam dan ahli peneliti dari mereka juga ahli qiyas. Kebanyakan mereka menyatukan di antara dua ucapan (objek), dan saat keadaan mengkaji dan membahasnya mereka mengatakan dengan menafikan dua objek sekaligus, maka mereka mengatakan : “ Allah tidak di dalam alam dan juga tidak di luar alam “, dan ketika mereka beribadah mereka mengatakan “ Allah di setiap tempat dan Allah bukan dari tempat “. Dan semua ucapan ini kerusakannya sudah diketahui (maklum) secara akal sehat walaupun banyak diyakini oleh orang banyak “. [32]
Di kitab yang lain, Ibnu Taimiyyah lebih jelas juga mengatakan :
إذا ثبتت رؤيته فمعلوم في بدائه العقول أن المرئي القائم بنفسه لا يكون إلا بجهة من الرائي وهذه الرؤية التي أخبر بها النبي ﷺ حيث قال : «ترون ربكم كما ترون الشمس والقمر». فأخبر أن رؤيته كرؤية الشمس والقمر وهما أعظم المرئيات ظهورًا في الدنيا، وإنما يراهم الناس فوقهم بجهة منهم بل من المعلوم أن رؤية مالا يكون داخل العالم ولا خارجه ممتنع في بدائه العقول، وهذا مما اتفق عليه عامة عقلاء بني آدم من السلف والأئمة وأهل الحديث والفقه والتصوف وجماهير أهل الكلام المثبتة والنافية والفلاسفة
“ Jika telah tetap rukyah kepada Allah, maka sudah maklum di dalam spontanitas akal bahwasanya sesuatu yang dilihat yang berdiri dengan sendirinya tidak ada kecuali berada di satu arah dari orang yang melihat. Dan rukyah ini yang telah Nabi kabarkan dengan sabdanya, “ Kalian akan melihat Tuhanmu sebagaimana kalian melihat matahari dan bulan “, Nabi mengabarkan bahwasanya rukyah kepada Allah seperti rukyah kepada matahari dan bulan, dan keduanya adalah paling besarnya sesuatu yang dilihat yang nampak di dunia. Dan sesungguhnya manusia melihat mereka di atasnya adalah dengan satu arah dari mereka bahkan sudah maklum bahwasanya melihat sesuatu yang tidak berada di dalam alam maupun di luarnya, adalah tercegah di dalam pemulaan akal. Dan ini termasuk perkara yang sudah disepakati oleh orang-orang yang berakal dari anak cucu Adam dari kalangan ulama salaf, para imam, ahli hadits, fiqh, tasawwuf dan jumhur ahli kalam sama ada yang menetapkan ataupun yang menafikan dan ahli falsafah “.[33]
Komentar :
Perhatikan ucapan Ibnu Taimiyyah di atas, bagaimana ia menilai semua pendapat dan ucapan di atas salah dan mengklaim bahwa kerusakan pendapat itu sudah maklum secara akal. Jika kita perhatikan kenapa Ibnu Taimiyyah menolak semua ucapan dan pendapat di atas?? Tidak ada lain karena semua ucapan di atas, menafikan dan meniadakan sifat jisim dan haiz bagi Allah Ta’alaa. Menafikan jisim dan haiz bagi Allah adalah perkara yang sah, akan tetapi berbeda dengan Ibnu Taimiyyah yang tidak meridhai keyakinan sahih ini.
Ibnu Taimiyyah menganggap orang yang mengatakan bahwa Allah tidak berjisim, menurutnya mustahil untuk dikatakan bahwa Allah di atas Alam dan di atas makhluk-makhluk-Nya. Anggapan ini sungguh bathil karena sangat bisa kita katakan bahwa Allah di atas semua makhluk-Nya dengan atas atau tinggi yang bukan bersifat tempat.
Dan suatu musibah fatal, Ibnu Taimiyyah mengklaim (mengaku) bahwa keyakinan itu adalah keyakinan yang sudah disepakati oleh orang-orang yang berakal dari anak cucu Adam dari kalangan ulama salaf, para imam, ahli hadits, fiqh, tasawwuf. Sungguh ini adalah kedustaan yang amat nyata.
Al-Imam al-Hafidz Abu Bakar al-Isma’ili (w 371 H) mengatakan :
أنهم يرون الله عز وجل من غير اعتقاد التجسيم في الله تعالى ولا التحديد له، ولكن يرونه جلّ وعزّ بأعينهم على ما يشاء بلا كيف
“ Sesungguhnya kaum mukminin, akan melihat Allah Ta’ala tanpa keuakinan tasjim (penjisiman) dan tahdid (pembatasan) kepada Allah Ta’al, akan tetapi mereka melihat Allah Ta’ala dengan mata mereka atas kehendak Allah tanpa visualisasi “.[34]
Imam al-Wahidi mengatakan di dalam kitab tafsirnya :
إن الباري تعالى يُرَى ولا يدرك؛ لأن معنى الإدراك: الإحاطة بالمرئي، وإنما يجوز ذلك على من كان محدودًا وله جهات.
“ Sesungguhnya Allah Ta’ala dapat dilihat dan tidak dapat diidrak, kerana makna idrak adalah, meliputi kepada yang dilihat, sesungguhnya itu hanya boleh terhadap sesuatu yang memiliki batasan dan arah “[35]
Al-Imam an-Nawawi mengatakan :
مذهب أهل الحق أن الرؤية قوة يجعلها الله تعالى في خلقه، ولا يشترط فيها اتصال الأشعة ولا مقابلة المرئي ولا غير ذلك، لكن جرت العادة في رؤية بعضنا بعضا بوجود ذلك على جهة الاتفاق، لا على سبيل الاشتراط، وقد قرر أئمتنا المتكلمون ذلك بدلائله الجلية، ولا يلزم من رؤية الله تعالى إثبات جهة، تعالى عن ذلك، بل يراه المؤمنون لا في جهة كما يعلمونه لا في جهة.
“ Mazhab yang haq (benar) adalah sesungguhnya rukyah kepada Allah adalah kekuatan yang Allah jadikan kepada makhluk-Nya, dan tidak disyaratkan di dalamnya kesambungan percikan cahaya dan berhadapannya yang dilihat dan selainnya. Akan tetapi sudah berlaku di dalam melihat kami satu dengan yang lainnya dengan wujudnya hal itu secara mufaqat bukan dengan persyaratan. Sungguh para imam kita dari kalangan ahli kalam telah menetapkan hal itu dengan dalil-dalil yang jelas, dan tidak melazimkan melihat Allah adanya penetapan arah, Allah Maha Suci dari yang demikian itu. Bahkan kaum mukminin akan melihat Allah bukan dengan arah sebagaimana dahulu mereka mengetahui Allah bukan dengan arah “.[36]
Demikian sedikit dari bukti penyimpangan Ibnu Taimiyyah dalam masalah akidah yang dibangunnya. Sungguh sangat banyak yang akan kami huraikan dalam masalah ini, namun insya Allah tahap demi tahap akan kami paparkan di lain waktu jika ada kesempatan. Dan semoga penjelasan yang singkat ini membawa manfaat dan semakin kuat menjaga keyakinan Akidah Ahlus sunnah wal Jama’ah yang selami ini kita pegang hingga akhir hayat insya Allah. Aamiin…
Ibnu Abdillah al-Katibiy
Kota Santri, 2 Ramadhan 1435 H / 1 Juli 2014 M
[1] Ad-Durrah al-Mudhiyyah, as-Subuki
[2] Dzakhair al-Qashr : 69
[3] Al-Mukhtashar fii Akhbar al-Basyar.
[4] Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 116
[5] Syarh Hadits Nuzul : 80
[6] Bayan Al-muwaafaqah : 1/62
[7] Minhaj as-Sunnah : 1/197
[8] Minhaj as-Sunnah : 1/180
[9] Majmu’ Fatawa : 4/152
[10] Majmu’ Fatawa : 3/81
[11] Maqaalat al-Islamiyyin wa ikhtilaaf al-Mushallin, Abu al-hasan al-Asy’ari : 211
[12] Diriwayatkan oleh Ibnu al-Mu’allim dalam kitabnya Najm al-Muhtadi Rajm al-Mu’tadi : 588
[13] I’tiqad al-Imam Ahmad : 45
[14] I’tiqad Ahlus Sunnah : 43, Tahqiq Jamal Azwan, Penerbir Daar Ibn Hazm, th 1999
[15] I’tiqad Ahlus Sunnah : 37, Tahqiq Jamal Azwan, Penerbir Daar Ibn Hazm, th
[16] Al-Itiqad wal Hidayah : 1/117
[17] Tafisr al-Qurthubi :
[18] Syarh Sahih Muslim, imam Nawawi :3 / 19
[19] Fath al-Bari : 13/390
[20] Fath al-Bari : 13/416
[21] Minhaj as-Sunnah : 2/530
[22] Bayan Talbis al-Jahmiyyah : 1/373
[23] Minhaj as-Sunnah : 1/197
[24] Syarh Hadits Nuzul : 80
[25] Minhaj as-Sunnah : 1/180
[26] I’tiqad Ahlus Sunnah : 37, Tahqiq Jamal Azwan, Penerbir Daar Ibn Hazm, th
[27] I’tiqad al-Imam Ahmad : 45
[28] Majmu’ al-Fatawa : 18/126
[29] Majmu’ al-Fatawa : 16/430
[30] At-Taksis fi ar-Radd ‘ala Asaas at-Taqdis : 1/9
[31] Tafsir Surat al-Ikhlas : 73
[32] At-Taksis fi ar-Radd ‘ala Asaas at-Taqdis: 1/5-6
[33] Bayan Talbis al-Jahmiyyah : 2/432
[34] I’tiqad Ahlus Sunnah : 43, Tahqiq Jamal Azwan, Penerbir Daar Ibn Hazm, th 1999
[35] Tafsir al-Wasith, al-Wahidi : 2/306
[36] Al-Minhaj sayarh Sahih Muslim bin Hajjaj : 3/16 Pemikiran dan Akidah Ibn Taimiyah Yang Dinilai Menyimpang Oleh Ulama | aswj-rg.com | 4.5